Rabu, 03 Desember 2014

Pentingnya Sebuah Wasilah (Perantara)


Al Allamah Al Musnid Habib Umar bin Hafidz ketika lawatannya ke Inggris menuturkan , ada seorang yang hidup di masa Qutb Rabbani Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Ketika orang itu meninggal dunia dan di kuburkan, beberapa orang yang berada di sekitar pekuburan mendengar jeritan, lolongan orang itu dari dalam kubur. 
Para sahabat (murid-murid) Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bercerita kepadanya, dan segera Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menghampiri kubur tersebut. Masyarakat menyaksikan dan memohon kepada beliau agar memohon kepada Allah subhanallahu wata`ala agar hukumannya di angkat.

Kemudian Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bertanya kepada para sahabat-sahabatnya:
“Apakah ia salah satu dari sahabatku (muridku)?”
Mereka menjawab: “Bukan wahai syeikh”……
Lalu beliau bertanya kembali :
“Pernahkah kalian melihatnya hadir pada salah satu majelisku?”
Mereka menjawab : “Orang itu tidak pernah menghadiri majelismu.”
Asy-Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bertanya lagi :
“Pernahkah ia masuk ke salah satu masjid dengan tujuan untuk mendengarkan ceramahku, atau shalat di belakangku?”
Mereka menjawab : “Tidak pernah , ya syeikh..!!!!!”
Lalu Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bertanya lagi :
“Pernahkah aku melihatnya?”
Mereka menjawab : “Tidak pernah, ya syeikh…!!!”
Lalu Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bertanya lagi :
“Apakah ia pernah melihatku?”
Mereka menjawab : “Tidak ya syeikh….!!”
Lalu salah seorang dari mereka berkata: “namun, wahai syeikh, aku pernah melihatnya melintas di suatu jalan setelah engkau dan para sahabatmu baru saja selesai dari majelis, dan ia melihat jejak jalanmu” (di masa itu Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bila berjalan dengan rombongannya adalah dengan mengendarai kuda, sehingga menimbulkan debu-debu yang mengepul di udara, dari situ orang akan segera tahu bahwa itu adalah konvoi rombongan dari majelis Syaikh Abdul Qadir Al Jailani)
Lalu Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menengadahkan tangannya kepada Allah subhanallahu wata`ala seraya berdo`a :
“Ya Allah, orang ini adalah orang yang pernah melihat debu jejak jalan kami selesai majelis, jika Engkau mencintai kami, kami memohon kepada-Mu berkat kecintaan-Mu kepada kami untuk mengangkat hukuman serta siksaan pada hamba ini.”

Dan seketika itu juga, jeritan dari dalam kubur terhenti. 

Subhanallah
Baru melihat debunya saja , seorang Wali Allah berkenan memberikan syafaatnya di alam kubur, bagaimana dengan para sahabatnya (muridnya) yang siang dan malam menghadiri majelis-majelis beliau, mengenal dan mencintainya serta memperjuangkan ajarannya?.

Dari debu inilah 
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memohonkan, ampun, memberikan syafaat kepada orang tersebut. Bagaimana jika seandainya orang tersebut sulit di cari, apa alasan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani untuk memberikan syafaat kepadanya..Naudzubillah..
Oleh karena itu, di dalam kehidupan, seorang muslim sudah seharusnya mencintai para shalihin, para wali Allah. Sebab merekalah perantara antara kita dengan Allah, Para Wali Allah di cintai di langit dan di bumi sebagaimana Allah berfirman di dalam hadis qudsi riwayat Imam bukhari :

Jika Allah Ta`ala cinta kepada hamba-Nya, maka Allah akan berkata kepada malaikat Jibril yang merupakan pemimpin dari para malaikat di tempat tertinggi: “Wahai Jibril, Aku mencintai hamba itu, maka umumkanlah kepada semua penduduk langit untuk mencintai hamba tersebut.”Lalu malaikat Jibril as mencintai hamba tersebut karena Allah Ta`ala dan mengumumkannya, sehingga seluruh para malaikat ikut mencintainya.

Wallahu`alam

Allahumma shalli alaa ruuhi sayyidina muhammadin fil arwah, wa ‘ala Jasadihi filajsad, wa alaa Qabrihi filqubuur WA 'ala alihi wa shahbihi wa sallim.

oleh: Habib Quraisy Baharun

Selasa, 19 Agustus 2014

SEMUA KEBATILAN DIBUNGKUS DENGAN INDAH




Bertakwalah kepada Allah. Ketahuilah, sejak dahulu hingga sekarang, sesungguhnya musuh-musuh Islam selalu berniat melenyapkan Islam dan kaum muslimin. Mereka melakukannya dengan berbagai cara. Allah Subhanahu wa Ta’ala meminta kita agar waspada terhadap makar-makar mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)…. [an-Nisâ`/4:89].
Namun atas izin Allah, upaya mereka selalu gagal. Allah Azza wa Jalla telah memupus rencana jahat mereka, sehingga Islam tetap eksis.

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. [at-Taubat/9:32].
Ketika mereka merasa lemah menghadapi kaum Muslimin dengan peperangan, maka musuh-musuh itu mencoba mencari cara lain. Yaitu dengan menyebarkan propaganda-propaganda pemikiran-pemikiran yang merusak dan menyesatkan ke berbagai penjuru. Mereka melakukannya dengan tipu daya.

Di antaranya, mereka menyebarkan pemikiran bathil, seperti anggapan bahwa semua agama adalah sama. Musuh-musuh Islam berpropaganda bahwa agama Yahudi, Nashrani dan Islam adalah agama wahyu. Sehingga di antara pemeluknya harus saling bersaudara, dan saling kasih-mengasihi.

Secara sepintas, pemikiran ini nampak bisa dibenarkan. Akan tetapi, jika dicermati, di balik pemikiran itu ada tujuan yang sangat menyesatkan. Yakni melenyapkan hakikat agama Islam, tidak mengakui Islam sebagai agama penutup dan penghapus agama-agama sebelumnya. Padahal tidak ada agama yang sah untuk diikuti di akhir zaman ini kecuali Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali 'Imrân/3:85].


Demikianlah, Islam yang dibawa Muhammad Rasulullah ini sebagai penutup sekaligus penghapus agama-agama sebelumnya. Jika kenyataan pada saat ini, agama-agama selain Islam itu masih ada sampai sekarang, misalnya Yahudi dan Nashrani, maka sebenarnya agama itu sudah tidak murni lagi sebagaimana saat diturunkannya pertama kali. Agama Yahudi dan Nashrani sudah terjadi perubahan dan penyelewengan. Seandainya pun jika agama-agama tersebut masih murni, maka agama itu sudah tidak terpakai lagi dan sudah digantikan oleh Islam. Sehingga, hukum orang yang tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berarti ia kufur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَسْمَعُ بِي يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ لاَ يُؤْمِنُ بِالَّذِي جِئْتُ بِهِ إِلاَّ دَخَلَ النَّارَ

Tidak ada seorangpun dari Yahudi maupun Nashrani yang telah mendengar kabar tentang aku, kemudian ia tidak beriman terhadap yang aku dakwahkan, kecuali ia akan masuk neraka.


Sebaliknya, bagi mereka yang ikhlas mau mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah menjanjikan untuk mereka kebahagiaan dan keselamatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`ân), mereka itulah orang-orang yang beruntung. [al-A'râf/7 : 157].
Termasuk di antara makar dan tipu daya mereka, yaitu tentang HAM (Hak Asasi Manusia). Padahal, Islam sendiri, sebenarnya lebih dahulu melindungi hak asasi manusia dan bukan agama yang lain. Allah yang menciptakan manusia, maka Allah jugalah yang akan melindungi hak asasi itu, dengan syarat, seseorang itu mau beriman kepada Allah dan kepada rasul-rasul-Nya.

Allah Azza wa Jalla mensyariatkan hukuman mati bagi seseorang yang keluar dari Islam. Hukuman ini, ialah upaya kongkrit dalam melindungi hak asasi manusia; hak yang paling esensi, yaitu keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki seorang muslim. Adakah hak asasi yang lebih berharga dari sebuah keyakinan dan kepercayaan?

Allah Azza wa Jalla mensyariatkan hukuman mati untuk seorang pembunuh karena perbuatan zhalimnya, maka hukuman ini bertujuan untuk menjaga nyawa manusia yang lain.

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang- orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179].

Allah Azza wa Jalla juga mensyariatkan rajam maupun cambuk bagi pezina, hukum mati bagi pelaku homo; semua itu untuk melindungi kehormatan dan harga diri manusia. Hukum potong tangan bagi pencuri untuk melindungi harta. Hukuman bagi pecandu narkoba, untuk melindungi akal, dan demikianlah seterusnya.

Tapi musuh-musuh Islam membalikkan fakta, mereka menuduh orang-orang yang berpegang teguh dengan syariat Islam sebagai teroris yang membahayakan dan harus dimusuhi, dilenyapkan, bahkan tidak punya lagi hak asasi yang harus dilindungi.

Propaganda musuh-musuh Islam yang lainnya, yaitu emansipasi atau kebebasan bagi kaum wanita. Kebebasan keluar rumah dengan membuka aurat, bekerja diluar rumah tanpa ada kebutuhan yang diperbolehkan syariat, sehingga anak-anaknya ditelantarkan, tanggung jawab sebagai istri dan ibu rumah tangga diabaikan.

Menurut mereka, kebebasan inilah sebagai hak-hak wanita yang harus dilindungi. Di balik itu semua, tujuan mereka yang sebenarnya ialah ingin merendahkan wanita, merusak akhlak, agama dan jasad mereka. Wanita dijadikan sebagai komoditi perdagangan yang tidak ada harganya, tempat pelampiasan hawa nafsu belaka.

Propaganda menyesatkan ini, sangat berbeda dengan pandangan Islam. Agama Islam sangat menjaga kehormatan dan harga diri seorang wanita. Dia tidak dibolehkan keluar rumah tanpa ada tujuan yang jelas secara syar'i. Wanita dalam Islam hidup penuh dengan kemuliaan, terjaga; hidup sebagai seorang ibu, hidup sebagai seorang istri, hidup sebagai saudari, dan sebagai kerabat; ia sangat dimuliakan. Dia bertanggung jawab terhadap rumah, menjaga amanah terhadap harta dan rahasia maupun kehormatan suami.

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

… Maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…. [an-Nisâ`/4:34].


Dengan gencarnya, musuh-musuh Islam melancarkan propaganda. Mereka memanfaatkan berbagai media informasi, baik cetak maupun elektronik. Dengan sarana ini, mereka menyebarkan bermacam bentuk kekufuran, dan kemaksiatan, mempertotonkan aurat dan pergaulan bebas. Ini semua sudah menjadi sajian yang setiap saat disaksikan semua orang dari berbagai kalangan umur, hingga seakan-akan rumah itu menjadi pasar tempat menjajakan perbuatan syirik, kriminalitas, kekejaman, kekejian, perbuatan cabul, dan semua bentuk kemaksiatan.

Dengan gigihnya, musuh-musuh Islam juga berusaha menyebarkan ke tengah-tengah kaum muslimin, khususnya kaum mudanya berupa obat-obat terlarang. Mereka rela mengalami kerugian jutaan dolar, bahkan milyaran, asalkan narkoba itu sampai di tangan generasi muda muslim. Tujuan utamanya, ialah menghancurkan kekuatan dan keimanan kaum muda Islam. Maka, seharusnya kita menyadari semua itu. Dan bersabarlah dalam menjalankan agama Islam ini. Peganglah kuat-kuat syariat-syariatnya, dan tetaplah bertakwa kepada Allah.

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

…Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan. [Ali 'Imrân/3:120].
Dalam menghadapi tipu daya musuh, justru yang dikhawatirkan ialah kaum muslimin itu sendiri. Mereka akan mendapatkan dampak negatif, disebabkan syubhat-syubhat yang dihunjamkan ke dada kaum muslimin, sehingga menjadi penyebab tercabutnya Islam dan keimanan dari rumah-rumah kita.

Oleh karena itu, waspadalah kita terhadap bahaya musuh-musuh Allah. Ketahuilah, hidup kita pada zaman ini tidak luput dari bahaya tersebut. Penampilan musuh-musuh Allah bisa saja menampakkan perbuatan shâlih dan jujur, bahkan mereka bisa saja bekerja sama dengan kita. Meski demikian, kita jangan sampai tertipu dan terperdaya dengan penampilan mereka yang kelihatan indah dan menarik, karena dibalik semua itu adalah kebathilan.

Hadirlah majlis-majlis ilmu, karena dari situlah hidayah dan keberkahan di turunkan bagai hujan.

Jumat, 15 Agustus 2014

11 ORANG TERNAMA BICARA TENTANG NABI MUHAMMAD


Mengenai keutaman dan keagungan Rsulullah Muhammad, Cukup kiranya komentar 11 Non Muslim Ini menjadi jendela betapa Nabi Muhammad Memang layak menjadi tauladan sejati..
Tidak mengherankan jika para ulama, ustadz, habaib, sampai para penyair pun senantiasa mengungkapkan kecintaan mereka kepada beliau.
Allahumma shalli wasallim wabarik alaih....


11 ORANG TERNAMA BICARA TENTANG NABI MUHAMMAD



1. Encyclopedia Britannica,
(Regarding Muhammad) “… a mass of detail in the early sources shows that he was an honest and upright man who had gained the respect and loyalty of others who were likewise honest and upright men.” [Vol. 12]



(Terhadap Muhammad)”..banyak sumber secara detail menunjukkan dia seorang manusia yang jujur dan benar yang memperoleh kehormatan dan kesetiaan dari yang lain yang juga jujur dan benar”.



2. Michael H. Hart, “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. New York: Hart Publishing Company, Inc., 1978, page. 33.]



“My choice of Muhammad to lead the list of the world’s most influential persons may surprise some readers and may be questioned by others, but he was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular level.”



“Pilihanku kepada Muhammad sebagai pemimpin dunia yang paling berpengaruh. Satu-satunya manusia yang secara menakjubkan sukses dalam kehidupan Religi dan Sekuler”




3. Reverend R. Bosworth-Smith wrote in “Mohammed & Mohammedanism” in 1946:



“Head of the state as well as the Church, he was Caesar and Pope in one; but, he was pope without the pope’s claims, and Caesar without the legions of Caesar, without a standing army, without a bodyguard, without a palace, without a fixed revenue. If ever any man had the right to say that he ruled by a Right Divine, it was Mohammad, for he had all the power without instruments and without its support. He cared not for dressing of power. The simplicity of his private life was in keeping with his public life.”



“Memimpin pemerintahan sebaik Gereja, dia merupakan Kaisar dan Paus dalam kesatuan, tetapi dia Paus tanpa pengakuan diri, dan Kaisar tanpa legiun Kaisar. Tanpa tentara yang disediakan. Tanpa pengawal, tanpa istana, tanpa penghasilan tetap. Jika ada orang yang harus disebutkan bahwa dia memerintah dengan kebenaran Tuhan, dia adalah Muhammad, Untuk segala kekuasaan tanpa instrument dan dukungan. Dia tidak mempedulikan pakaian kebesaran. Secara sederhana kehidupan sederhananya adalah menjaga kehidupan masyarakatnya.”



4. Lamartine, HISTOIRE DE LA TURQUIE, Paris, 1854, Vol. II, pp. 276-277.



“Philosopher, orator, apostle, legislator, warrior, conqueror of ideas, restorer of rational dogmas, of a cult without images; the founder of twenty terrestrial empires and of one spiritual empire, that is Muhammad. As regards all standards by which human greatness may be measured, we may well ask, is there any man greater than he?”



“Seorang filsuf, orator, nabi, pembuat undang-undang, Ksatria, penakluk ide, pembangun dogma rasional, tentang memuja tanpa imajinasi, pendiri 20 kerajaan dunia dan satu kerajaan agama, itulah Muhammad. Diantara manusia dengan nama besar, adakah yang lebih besar darinya?.”



5. George Bernard Shaw, [The Genuine Islam, Singapore, Vol. 1, No. 8, 1936] a famous writer and non-Muslim says:



“He must be called the Savior of Humanity. I believe that if a man like him were to assume the dictatorship of the modern world, he would succeed in solving its problems in a way that would bring it much needed peace and happiness.”



“Dia harus dipanggil sebagai penyelamat manusia. Saya percaya jika manusia seperti dirinya untuk mengambil kediktatoran di dunia modern, dia akan sukses memecahkan masalah dengan sebuah cara yang akan menghasilkan kedamaian dan kebahagiaan”



6. K. S. Ramakrishna Rao, Seorang professor of Philosophy, dari India yang beragama Hindhu dalam booklet “Muhammad the Prophet of Islam” memanggilnya ”model manusia sempurna”



“The personality of Muhammad, it is most difficult to get into the whole truth of it. Only a glimpse of it I can catch. What a dramatic succession of picturesque scenes. There is Muhammad the Prophet. There is Muhammad the Warrior; Muhammad the Businessman; Muhammad the Statesman; Muhammad the Orator; Muhammad the Reformer; Muhammad the Refuge of Orphans; Muhammad the Protector of Slaves; Muhammad the Emancipator of Women; Muhammad the Judge; Muhammad the Saint. All in all these magnificent roles, in all these departments of human activities, he is alike a hero.”



“Kepribadian Muhammad, merupakan yang paling sulit untuk mendapatkan kebenarannya secara menyeluruh. Hanya sekilas yang dapat saya tangkap. Rangkaian dramatis dari adegan yang indah. Itulah nabi Muhammad. Disanalah Muhammad sebagai Ksatria, Pengusaha, Orator, Pemerintah, Pereformasi, pelindung anak yatim, pelindung budak, pengemansipasi wanita, seorang hakim, dan orang suci. Semuanya dalam seluruh peran yang bagus, dalam seluruh bagian aktifitas manusia ini, dia seperti seorang pahlawan”.



7. Mahatma Gandhi, berbicara tentang sifat nabi Muhammad, dalam ‘Young India’:



“I wanted to know the best of one who holds today undisputed sway over the hearts of millions of mankind… I became more than convinced that it was not the sword that won a place for Islam in those days in the scheme of life. It was the rigid simplicity, the utter self-effacement of the Prophet, the scrupulous regard for his pledges, his intense devotion to his friends and followers, his intrepidity, his fearlessness, his absolute trust in God and in his own mission. These and not the sword carried everything before them and surmounted every obstacle. When I closed the 2nd volume (of the Prophet’s biography), I was sorry there was not more for me to read of the great life.”



“Aku ingin tahu manusia terbaik yang memegang kekuasaan tak terbantahkan sampai hari ini atas jutaan umat manusia… Aku menjadi lebih yakin bahwa bukanlah pedang yang memenangkan tempat untuk Islam hari itu dalam skema hidup. Merupakan kesederhanaan yang kaku, penghapusan pengucapan nabi sendiri, Janjinya yang cermat dan ter hormat, pengabdian yang intensif kepada teman-teman dan para pengikutnya, keberaniannya, tanpa rasa takut, kepercayaan penuhnya pada Tuhan dan misinya sendiri. Inilah dan bukannya pedang membawa semuanya didepan mereka dan mengatasi setiap rintangan. Ketika aku menutup volume kedua (atas biografi nabi), aku minta maaf belum semua tentang kehidupan besarnya aku baca”.



8. Thomas Carlyle (seorang penulis Inggris) dalam bukunya ’Heroes and Hero Worship:



“How one man single handedly, could weld warring tribes and wandering Bedouins into a most powerful and civilized nation in less than two decades.”



“Bagaimana seorang manusia sendirian mampu, merubah suku badui yang suka berperang dan mengembara menjadi negara paling kuat dan beradab dalam waktu kurang dari dua decade”.



9. Diwan Chand Sharma menulis dalam buku “The Prophets of the East”: [D.C. Sharma, The Prophets of the East, Calcutta, 1935, pp. 12]



“Muhammad was the soul of kindness, and his influence was felt and never forgotten by those around him”



“Muhamamd merupakan jiwa dari kebaikan, pengaruhnya tak pernah terlupakan dari mereka di sekitarnya”



Muhammad, peace and blessings be upon him, was nothing more or less than a human being, but he was a man with a noble mission, which was to unite humanity on the worship of ONE and ONLY ONE GOD and to teach them the way to honest and upright living based on the commands of God. He always described himself as, ‘A Servant and Messenger of God’ and so indeed every action of his proclaimed to be.



“Muhammad, damai dan berkat atasnya, tidak kurang dan tidak lebih daripada seorang manusia, tetapi dia adalah manusia dengan misi agung, untuk menyatukan manusia dalam menyembah pada yang SATU dan SATU SATUNYA TUHAN dan mengajar mereka jalan menuju kejujuran dan kehidupan yang baik berdasarkan perintah Tuhan. Dia selalu mendiskripsikan dirinya sebagai “Pelayan dan Utusan Tuhan” dan bahkan setiap ucapannya dijalankan”.



10. Sarojini Naidu , seorang penyair puitis dari India. [S. Naidu, Ideals of Islam, vide Speeches & Writings, Madras, 1918, p. 169]



“It was the first religion that preached and practiced democracy; for, in the mosque, when the call for prayer is sounded and worshippers are gathered together, the democracy of Islam is embodied five times a day when the peasant and king kneel side by side and proclaim: ‘God Alone is Great’… I have been struck over and over again by this indivisible unity of Islam that makes man instinctively a brother.”



“merupakan agama pertama yang melakukan dan mempraktekkan demokrasi, Dalam Masjid, ketika panggilan shalat didengungkan orang yang beribadah berkumpul bersama, demokrasi dalam Islam dibentuk dalam 5 kali sehari ketika Petani dan Raja berlutut dan mengatakan “Tuhan satu yang Agung”…Aku tergetar berulang kali dengan kesatuan tak terpisahkan dalam Islam yang membuat manusia secara insting merasa bersaudara”.



11.Edward Gibbon dan Simon Ockley, “History of the Saracen Empires”[History of the Saracen Empires, London, 1870, p. 54]



“I BELIEVE IN ONE GOD, AND MAHOMET, AN APOSTLE OF GOD’ is the simple and invariable profession of Islam. The intellectual image of the Deity has never been degraded by any visible idol; the honor of the Prophet have never transgressed the measure of human virtues; and his living precepts have restrained the gratitude of his disciples within the bounds of reason and religion.”



“ Aku percaya dalam 1 Tuhan, dan Muhammad, nabi dari Tuhan”, merupakan pernyataan yang sederhana dan sama dalam Islam. Gambaran intelektual atas Tuhan tak pernah dikurangi dengan berhala yang terlihat; Kehormatan dari sang nabi tak pernah melanggar ukuran kebajikan manusia”.



12. E Wolfgang Goethe, seorang penyair besar Eropa [Noten und Abhandlungen zum Weststlichen Dvan, WA I, 7, 32]



“He is a prophet and not a poet and therefore his Koran is to be seen as Divine Law and not as a book of a human being, made for education or entertainment.”



“Dia seorang nabi, dan bukan seorang penyair, maka dari itu Al-Quran nya dilihat sebagai hukum suci dan bukan buku dari manusia, dibuat untuk pendidikan dan penghiburan”.




http://www.kaskus.co.id/thread/52d4e972138b46b13f8b4797/wow-inilah-11-penilaian-non-muslim-terhadap-rasulullah-muhammad-saw/

Gus Dur dan Pengosongan Diri


Gus Dur mengutip Ibnu Atha’illah as-Sakandari: “Idfin wujûdaka fî ardhi al-humûl. Famâ nabata mimmâ lam yudfan lâ yatimmu natâ’ijuhu (tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari sesuatu yang tidak ditanam tidak akan sempurna buahnya)” (Ibnu Atha`illah as-Sakandari, al-Hikâm, hikmah No. 11).
Gus Dur sering mengutip perkataan emas itu dari mahaguru tarekat Syadziliyah, Ibnu Atha`illah as-Sakandari. Gus Dur sering mengutipnya, di antaranya dalam wawancara dengan Radio 68 H Jakarta/acara Kongkow Bareng Gus Dur. Saya juga menemukan pengakuan dari KH. Husein Muhammad dalam tulisan Matahari Telah Pulang: Merenungkan Sufisme Gus Dur (dalam Gus Dur Bertahta di Sanubari, hlm. 175), tentang untaian emas itu sering dikemukakan Gus Dur. Saya juga mendengar dari penuturan anaknya, Inayah Wahid di dalam acara “Simposium Kristalisasi Pemikiran Gus Dur” di Jakarta tanggal 16-17 November 2011, bahwa Gus Dur juga sering mengungkapkan kata-kata itu.
Ibnu Atha`illah as-Sakandari nama lengkapnya biasa dipanggil dengan terhormat, Tajuddin  wa Tarjuman al-`Arifin Abu al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin `Abdul Karim  bin `Abdur Rahman  bin `Abdullah bin Ahmad bin `Isa bin al-Husain bin `Atha`illah al-Judzami al-Maliki as-Sakandari ash-Shufi. Dia oleh Ibnu Farhun dalam ad-Dîbâj disebut sebagai:  “Seorang imam yang menjadi juru bicara tarekat Sadziliyah”. Di antara beberapa karangannya adalah: at-Tanwîr fî Isqât at-Tadbîr, Lathâ’if al-Minân fî Manâqib asy-Syaikh Abû al-`Abbâs wa Syaikhihi Abî al-Hasan, Miftâh al-Falâh, Tâj al-`Arûsdan al-Hikâm.
Ibnu `Atha`illah ini adalah orang yang dianggap berjasa teradap tarekat Syadziliah, karena dialah murid Abul Abbas al-Mursy (murid Syaikh Abu Hasan as-Sadzili), yang kemudian menyusun dan mensistematisasikan doktrin-doktrin dan wirid-wirid Sadziliyah. Dia meninggal tahun 709 H. dan dimakamkan di Kairo, tepatnya di Qarafiyah. Makamnya menjadi tempat para peziarah yang besar sampai saat ini.
Gus Dur mengutip kata-kata Ibnu Atha`illah itu, dan berkomentar ketika membicarakan soal doa dan keterkabulannya tergantung keikhlasan dan terserah Tuhan: “Maksudnya, kita harus benar-benar kosong supaya tidak punya keinginan apa-apa. Susahnya, orang berdoa itu kan banyak pengen-nya. Makanya kalau kita berdoa, jangan minta apa-apa, terserah Tuhan saja. Pokoknya yang terbaik menurut Tuhan.” Di sini, Gus Dur memaknai “tanamlah…” dengan “kita harus benar-benar kosong, supaya tidak punya keinginan apa-apa,” dalam menempuh suluk.
Syaikh Hayat as-Sindi al-Hanafi dalam Syarah al-Hikam al-`Atha’iyah (hlm. 12) menyebutkan maksud dari perkataan itu. Kata “tanamlah” maksudnya “wahai para pencari, perbaikilah jalan-jalanmu”. Perkataan “wujudmu di tanah yang tidak dikenal” maksudnya “jadikanlah dirimu seakan-akan tidak membutuhkan sesuatu… dan putuskanlah kekuasaan syahwatmu untuk terkenal dengan pisau yang mematikan…” Dalam penjelasan selanjutnya disebutkan  “tidak sempurna buahnya” adalah “tidak diharapkan hasilnya, karena akan merusakkan sebelum berbuah”.
Kata-kata emas mahaguru tarekat Sadziliyah ini, sangat dalam, indah, dan menggetarkan. “Tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal”, ibarat yang digunakan bagi seorang yang sedang mencari, seorang penempuh jalan tarekat, agar menanamkan jiwanya, memulai lakunya, dan meniatkan dirinya secara dalam. Seorang penempuh (sâlik), sebaiknya menanamkan dirinya dalam tanah yang rendah, karena dengan begitu akarnya akan kokoh. “Menanam wujud dirinya” ini bukan bermakna leterlek, menanam tubuh ke dalam tanah: tidak demikian. “Menanam diri” di sini adalah memulai laku dengan mengosongkan diri untuk tidak membutuhkan sesuatu kecuali Allah, dan ini akan membuahkan keikhlasan. “Tanah yang rendah” adalah ibarat untuk menunjukkan agar sang penempuh tidak terburu-buru terbius mencari ketenaran, kemasyhuran, kesaktian, dan sejenisnya. “Tanah yang rendah” adalah keadaan diri agar konsentrasi dalam melakukan suluk, dengan tidak usah berkeinginan mencari ketenaran dan sejenisnya.
Keinginan untuk tenar dan kemasyhuran, hanya akan membuahkan ketidaksempurnaan sebuah suluk. Alih-alih akan bisa berhasil dalam melanjutkan suluk-nya, sang penempuh justru akan mendapatkan kerusakan, jauh sebelum tujuannya tercapai. Ketenaran dan kemasyhuran, bukanlah awal, bukan tujuan, dan bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan kesempuranaan suluk. Keinginan tenar dan kemasyhuran hanya akan menjadikan diri sombong, dan mudah patah, yaitu sesuatu yang karena memang tidak ditanam dengan akar-akar yang kokoh, sedikit saja diterpa angin akan terhempas. Berbeda dengan gunung, meskipun tinggi, tetapi karena tertanam secara kokoh dia tidak akan terhempas. Demikian juga gunung, meski menjulang dan tegak, dia tidaklah diam, tetapi terus bergemuruh dan bergerak. Begitu juga seorang sâlik, menanam jiwa dalam kekosongan dari keinginan kebendaan, seperti ketenaran dan kemasyhuran, bukan berarti diam dan tidak bergerak. “Menanam jiwa dalam tanah yang tidak dikenal” berarti aktivitas dinamis yang penuh disiplin dalam menggembleng diri, melakukan penyucian dan pendalaman diri, penghayatan, dan penyingkapan diri yang tidak kenal lelah.
Begitulah, pengosongan diri akan membuahkah keikhlasan dan akan bisa menjangkau esensi Cahaya Allah, penyatuan perilaku dan sikap-sikap sâlik dengan semaksimal mungkin bisa sesuai dengan energi-energi ilahiyah. Kekosongan diri adalah hilangnya definisi-definsi, atribut, dan pengetahuan terserap dalam kelemahan di hadapan kesadaran terdalam tentang kedigdayaan, kebesaran, dan keperkasaan Tuhan. Dari keterserapan ini menimbulkan kehidupan baru seorang penempuh, tergerusnya pengetahuan ke dalam kefana’ana-kefana’an, mempertanyakan tentang diri, mencari asal dirinya kepada yang ilahi. Pengosongan diri akan berputar-putar menggerus jiwanya sampai hilangnya keinginan-keinginan kebendaan, dan hanya ada satu keinginan menemukan asal dirinya dengan cara menjumpai cahaya-Nya.
Setelah keterserapan dan hilangnya keinginan-keinginan akan muncul kerinduan rohani: awalnya kecil, terus membesar, dan begitu seterusnya sangat membesar. Ketika seorang mengalami kekosongan, yanga ada adalah kehampaan yang digerakkan oleh energi ilahiyah. Seseorang bisa terjatuh karenanya; bisa duduk  berjam-jam, terheran-heran; bisa berjalan terus menerus; bisa saja tubuh terkulai lemas tetapi jiwa bergemuruh hebat, mendodor-dodor; dan lain-lain. Jalaluddin Rumi, seorang yang dianggap sebagai seorang yang mencapai Qutbul Ghauts di zamannya, pernah terjatuh lunglai, dan tidak sadarakan diri ketika ia mengalami kekosongan diri.
Ceritanya, guru pembimbing Rumi yang bernama Syams Tabriz menemuinya. Saat itu Rumi sedang bersama murid-muridnya di universitas di mana dia mengajar teologi di sebuah kelas. Sesosok yang tampak compang camping mengikuti Rumi dan mengikuti di ruang kelas. Dialah Syams Tabriz, yang kelak menjadi guru ruhaninya, dan bertanya kepada Rumi: “Siapa yang lebih besar, Abu Yazid atau Nabi Muhammad?”
Rumi yang melihat pandangan Tabriz menembus jiwanya, kemudian menjawab: “Nabi Muhammad yang lebih besar.” Tabriz kemudian berkata: “Tidakkah Rasulullah berkata: “Kami tidak mengetahui Engkau sehingga Engkau ingin sekali diketahui?” Sementara Abu Yazid berkata: “Betapa besar maqam-ku, kemuliaan tercurah padaku yang agung, yang kedigdayaannya terangkat.”
Tabriz melihat Rumi tidak sanggup menjawab. Tabriz lalu menjelaskan: “Dahaga Abu Yazid terhadap Tuhan telah dipuaskan setelah minum seteguk, tetapi dahaga Nabi tidak pernah terpuaskan, karena dia selalu haus akan air pengetahuan Allah lebih banyak lagi.”
Menemukan dirinya tidak berdaya di hadapan Tabriz, Rumi mengalami kekosongan mencekam dan terjatuh di lantai: menangis hingga hilang kesadarannya, tepat di kaki Tabriz. Ketika Rumi sadar, kepalanya sudah ada di pangkuan Tabriz. Setelah itu kedua orang guru murid itu, akhirnya pergi selama 3 bulan dalam pengasingan. Begitulah, Rumi pun bisa terjatuh dan lunglai tatkala mengalami kekosongan diri, dan sebabnya, setiap orang bisa berbeda-beda. Yang menyamakan hanya satu: ditemukannya keterbatasan pengetahuan nalar dan logika manusia, dan adanya energi ilahi yang menyergapnya yang menghunjam perlunya pengetahuan lain, pengetahuan yang berasal dari cahaya-Nya secara langsung. Munculnya kekosongan diri adalah anugrah.
Orang yang melihat mereka yang sedang mengalami kekosongan diri, akan menemukan perubahan-perubahan dari keberadaan sebeluamnya. Dan ini tidak perlu dipikirkan oleh seorang sâlik, kecuali dengan teguh menyandarkan dirinya kepada Allah: semuanya akan bisa menjadi baik, dengan sabar, teguh, dan disiplin. Pada kondisi ini, biasanya seorangsâlik juga teringat, menimbang-nimbang laku yang bisa dipertahankan dan diingat dari waktu kecil sampai ia mengalami kekosongan diri: memperoleh anugrah pengosongan diri. Ada yang menyebutkan laku “bersikap jujur” (Gus Dur sering sekali menekankan arti penting jujur ini dalam menjalani hidup); ada laku selalu “mendahulukan orang lain” (Gus Dur juga sering melakukan ini); dan ada juga yang selalu merasa berdosa bila melakukan maksiat, sebelum akhirnya ia benar-benar bertaubat; dan lain-lain.
Kerinduan rohani menjadikan sang penempuh mencari seorang guru/mursyid, bagi mereka yang tidak memiliki keberanian dan tidak mendapatkan bimbingan rohani dari para guru besar secara rohani; atau dia akan didatangi oleh guru rohani lewat mimpi dan isyarat-isyarat, lalu melakukan disiplin diri sehingga sang sâlik harus bisa mengatasi rasa takut dan godaan-godaan, yaitu mengusai dirinya. Ibnu `Arabi dalam Risâlah al-Anwâr menyebutkan demikian: “Demi Allah, janganlah memasuki penyendirian kecuali jika Anda tahu maqam Anda, dan ketahuilah kekuatan Anda kaitannya dengan imajinasi. Sebab jika imajinasi Anda menguasai Anda, maka tidak ada jalan menuju penyendirian, kecuali melalui bimbingan Syaikh yang cerdas dan insaf. Jika imajinasi Anda terkendali, maka masukilah penyendirian dengan tanpa rasa takut” (hlm. 55.).
Dari kekosongan diri, sang sâlik akan dan kemudian berada dalam hidup baru, yang diikuti dengan disiplin diri ber-suluk. Di sini, pengosongan diri bisa dimaknai sebagai adanya pemisahan hidup lama dan memulai hidup baru setelah adanya keterserapan ke dalam energi ilahi yang menggetarkan jiwanya dan mengantarkannya kepada pencarian akan cahaya-Nya. Keterserapan ini adalah permualaan sebelum adanya fana’ dan sebelum melakukan dispilin dari maqam ke maqamberikutnya. Keterserapan setelah melakukan disiplin diri dan setelah fana’ adalah penyingkapan, dan ini berbeda dengan kekosongan diri yang pertama. Meski begitu, ada juga seorang yang diberkati Allah mengalami keterserapan energi ilahi sebelum melakukan disiplin dari maqam ke maqam, dan Ibnu Arabi adalah salah seorang yang diberi anugrah itu.
Banyak jalan menuju pengosongan diri, sebanyak Allah menunjukkan seorang penempuh untuk mengalaminya. Kalau seseorang masih menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh dari membaca buku-buku, menulis, dan logika  sebagai pengetahuan sejati dan menyeluruh, mampu menyelesaikan persoalan dengan menihilkan “Yang Ghaib dari yang Terghaib”, maka dia belum akan menemukan kekosongan diri. Kalau seseorang masih melakukan eksperimen-aksperimen logis, dan kemudian menemukan keajaiban hasil-hasilnya, dan menganggap semua itu sebagai keagungan akal dan keabadiannya tanpa ada kesadaran campur tangan Tuhan, kekosongan diri tidak akan muncul. Kalau seseorang masih menuruti semua keinginan kebendaan sehingga tidak ada waktu untuk menemukan sesuatu yang berharga untuk mempertanyakan asal rohaninya, di situ kekosongan diri tidak akan muncul. Demikian juga, kalau seseorang menganggap masih kuat, dan tidak menyadari ada batas kelemahannya, tentu belum akan bisa menemukan kekosongan diri.
Sebaliknya pengosongan diri bisa ditemukan dan dimulai, kalau seseorang bisa menemukan pengalaman-pengalaman yang menggugah rohani dan membuatnya berpikir bahwa manusia ada batasnya; buku-buku, logika, dan tulisan ada batasnya; ilmu-ilmu politik, ekonomi, sosiologi, dan sejenisnya ternyata terbatas, seperti yang ada di Indonesia, tidak bisa bekerja menyelesaikan masalah-masalah riil kebangsaan kita; dan tidak sedikit mereka yang mengalami sakit tertentu, dan kemudian bisa sabar sampai memperoleh penyelamatan dari Sang Suwung (Allah) lalu timbul kesadaran adanya kedigdayaan Allah. Dari kelemahan dan keterbatasan itu, kemudian  muncul perenungan mendalam: adakah semua bisa diselesaikan manusia? Adakah semua keinginan manusia bisa dilaksanakan sedetil mungkin dan sesempurna mungkin, bahkan terhadap mereka yang kaya raya sekalipun? Dan banyak lagi pertanyaan lain yang mempertanyakan asal rohaninya. Dari sudut ini, kekosongan diri adalah anugrah, setelah terjadinya kecamuk dalam perjalanan hidupnya; setelah terjadi panas dan hujan silih berganti menempa hidupnya; dan begitu seterusnya.
Seorang kawan mengabarkan, sangat bersyukur bahwa selama ini, dia melakukan perlawanan dan menentang Tuhan, dan pada umur 30-an tahun setelah mengalami masa pancaroba, gempa, musim gugur, dan segala cuaca diri akhirnya dianugrahi diri yang ingat dan lari kepada-Nya. Andai sampai mati tidak juga mengalami itu, sungguh, dia merasa hidupnya merugi, karena yang dia tahu hanya pengetahuan berdasarkan nalar dan logika yang spekulatif, dan tidak menambah tenang hidupnya. Penyingkapan-penyingkapan yang dialaminya kemudian, menambahkan kokohnya iman dan tauhidnya kepada Tuhan. Di sini ada situasi di mana masa pancaroba diri dan berbagai jenis cobaan, telah dilalui, anugrah kekosongan diri sungguh menghunjam dan menyentuh rohaninya.
Sebelum seseorang mengalami pengosongan diri yang hebat sebaiknya tidak usah terburu-buru ingin menempuh duniasuluk. Kalau ini ditempuh, tentu seseorang hanya akan berhenti untuk mencari kemasyhuran, ketenaran, kesaktian, kekayaan,  dan atribut-atribut kebendaan, sudah pasti akan tertipu, gagal, dan tujuannya akan rusak. Ketika sudah terkenal, sementara akar-akarnya tidak kokoh, seseorang akan menemukan ketenarannya, tetapi ketenarannya itu tidak akan abadi, semu semata, dan setelah itu akan menemukan kekecewaan, yang sebenarnya adalah kegagalan dalam ber-suluk, karena ketenarannya itu akan menghacurkan sang sâlik sendiri.
Hal ini berbeda, bila seseorang menanam dirinya di tanah yang rendah sehingga akar-akar jiwanya sangat kokoh. Kalau kemudian orang ini terkenal dan masyhur, maka dia tidak lekang oleh waktu, tidak takut oleh cercaan, akan terus berjuang meskipun  terus mengalami rintangan, dan akan tetap tegar, meskipun tentu saja kadang rasa takut menghinggapi dan menyelinap menggodanya. Begitulah, karena Gus Dur telah melewati fase pengosongan diri, maka sang guru telah menanam dirinya dengan akar yang kokoh, dan dengan begitu meskipun situasi sosial, politik, ekonomi, dan komunitasnya berguncang-guncang dan mendodornya, sang guru tetap tegar. Ibarat gunung, meski menjulang tetapi akarnya kokoh karena terpatri ke dalam bumi; dan energi bumi yang adalah bagian dari cahaya-Nya telah menyerap sang guru.
Sementara kebanyakan orang mengalami pengosongan diri menjelang ajal, ketika sang penjemput maut akan tiba. Dan, bahkan yang lain tidak meneruskan setelah ada gejala-gejala pengosongan diri, karena kemudian masih disibukkan oleh keinginan-keinginan kebendaan. Begitulah yang namanya manusia: sebuah eksistensi yang lemah, tetapi mengaku kuat dan sombong; dan terutama karena gengsi status sosial, kekayaaan, dan sejenisnya, dia malu mengakui bahwa sebenarnya dia sangat lemah. Tetapi Allah memberikan kebebasan kepadanya untuk tetap percaya atau tidak, faman syâ’a falyu’min faman syâ’a falyakfur.
Pengosongan diri ini, sebuah syarat penting untuk mencapai dua hal: menjangkau alam esensi dari yang al-Haqq; dan untuk mendapatkan akses ke sifat-sifat ilahi yang hanya bisa dicapai dengan mencapai fanâ’ (keterleburan) terlebih dulu. Dengan pengosongan diri itu, dimulai tapak demi tapak dan daki mendaki dalam berbagai maqâmât atau laku spiritual. Di sini, pengosongan diri sebagai syarat munculnya gemuruh jiwa yang kemudian membajakan tekadnya melakukan penyucian diri lahir dan batin untuk menjangkau esensi ilahi, lagi-lagi, harus dibedakan dengan keterserapan dan lebur ke dalam cahaya ilahi  setelah mengalami fanâ’. Yang terakhir ini, terjadi setelah berbagai maqâmât dilakukan; dan pengosongan diri yang pertama adalah menanam jiwa dalam tanah yang rendah, permulaan menjelang pendakianmaqâmât, yaitu melepaskan keinginan-keinginan kebendaan, sehingga rongga batin sang sâlik memiliki pondasi dan akar-akar yang kokoh.
Oleh karena itu, sebaik-baik dalam pengosongan diri, sebagai permulaan seseorang perlu menyadari adanya Sang Suwung, Sang Ada yang tidak terjangkau, dan tidak bisa didekati dengan indra-indra biologis, dan kemudian kondisinya terserap ke dalam kehampaan, kekosongan, dan kesuwungan. Setelah itu seseorang perlu menyandarkan disiplin ber-suluk kepada-Nya dan dia akan memiliki fondasi fondasi yang kokoh, dan akan mencapai hasil yang mencerahkan. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah selain berkata dalam kalimat-kalimat yang dikutip di awal tulisan ini yang sering dikemukakan Gus Dur,  dia juga mengemukakan: “Sesungguhnya  bidâyah (permulaan) itu bagaikan cermin yang memperlihatkannihâyah (puncak akhirnya). Dan siapa yang bidâyah-nya selalu bersandar kepada Allah, akhirnya juga akan sampai kepada-Nya.” (Kearifan No. 276, dalam al-Hikâm).
Tentang permulaan, sudah jelas, perlu adanya pengosongan diri sehingga keberangkatan menjadi terserap untuk menjangkau esensi ilahi, karena tidak dibelenggu oleh keinginan-keinginan kebendaan, kemasyuhuran, dan ketenaran, yang justru akan menjadi hijâb dan penglulu. Sementara “orang yang sampai” adalah mereka yang telah menyaksikan kebenaran ilahi, atau menyaksikan manifestasi cahaya yang memancar dari Sang Maha Indah yang disaksikan melewati tahap demi tahap, sampai mengalami tauhîd biwujûd al-Haqq. Begitulah, kalau penyandaran kepada-Nya dilakukan dalam permulan dan dalam semua tahapan laku suluk-nya, akhirnya juga akan sampai kepada-Nya. [nur khalik ridwan] 

Sumber www.nu.or.id

Hukum Menikahi Perempuan Hamil di Luar Nikah


Kalau ada perempuan hamil di luar nikah, memang tidak lantas terjadi gempa bumi. Hanya saja gunjingan mulut di kalangan masyarakat tidak bisa didisiplinkan. Masyarakat tidak peduli hamil di luar nikah karena keajaiban seperti Siti Maryam AS atau sebagaimana beberapa kasus yang terdengar di telinga masyarakat. Maklum saja, gunjingan ini bisa dibilang sanksi sosial sebagai kontrol dari masyarakat.

Kalau sudah begini, lazimnya pihak orang tua langsung mengawinkan anaknya yang hamil di luar nikah itu. Mereka tidak mau ikut menanggung aib dan gunjing tetangga sebelum kandungan anaknya membesar. Mereka ingin kehadiran seorang menantu saat persalinan anaknya. Usai persalinan? Apa peduli.

Perempuan hamil di luar nikah berbeda dengan perempuan hamil dalam masa iddah atau ditinggal mati suaminya. Untuk mereka yang hamil dalam masa iddah atau ditinggal mati suami, pernikahan mereka tidak sah. Mereka boleh menikah lagi setelah melahirkan dan habis masa nifas.

Sedangkan perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yang menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah tetap sah. Demikian diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.

ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح

Artinya, kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan.

Meskipun demikian, Islam secara keras mengharamkan persetubuhan di luar nikah. Hamil, tidak hamil, atau dicegah hamil sekalipun. Karena, perbuatan keji ini dapat merusak pelbagai aspek. Jangan sampai ada lagi bayi-bayi suci teronggok bersama lalat dan sampah. Wallahu A’lam. (Alhafiz K)

Kamis, 12 Juni 2014

TEGURAN ANJING;  ASAL MULA NAMA “NUH” SANG NABI

“Siapa Engkau? Mengapa salammu begitu menggetarkan hatiku?” 
“Aku Malaikat Maut. Mengapa kau mengeluh begitu saat kujemput?



TEGURAN ANJING; 
ASAL MULA NAMA “NUH” SANG NABI

“Ratapilah dirimu wahai orang melarat # Kelak kau pun mati meski selama Nuh kau hidup.” Itulah sepenggal syair tentang terbatasnya umur, sepanjang umur Nabi Nuh pun.
Siapa yang tak kenal Nabi Nuh? Hal yang banyak dikisahkan tentang beliau adalah perihal usianya yang panjang, 950 tahun, dan dakwahnya yang tak kenal lelah. Siapa pula yang tak tahu tentang banjir bandang yang merata di berbagai daratan di muka bumi sehingga memusnahkan lebih dari separuh populasi makhluk hidup pada saat itu. Beliau mendapat mandat suci sebagai rasul pada saat beliau berusia 250 tahun, dan hidup selama 200 tahun setelah surutnya air bah.
Namun tidak banyak yang tahu bahwa, konon, nama asli beliau bukanlah ‘Nuh’, melainkan Abdul Ghoffar, ada pula yang menyebutkan bahwa nama beliau Yasykur. Sedangkan ‘Nuh’ hanyalah julukan bagi beliau, artinya orang yang meratap.
Nah, di sini kita akan mencoba memetik satu atau dua tangkai hikmah dari sebab mengapa beliau dijuluki dengan nama ‘Nuh’. Sehingga kita bisa melahap buah kebijaksanaan ini, kemudian menanam biji-bijinya, agar kebun hati kita rimbun dengan kerindangan hikmah yang menyejukkan.
Suatu ketika, dalam satu perjalanan, Abdul Ghoffar berpapasan dengan seekor anjing lusuh bermata empat dan begitu mengerikan. Melihat hal aneh dan jarang beliau temui ini, beliau bergumam: “Wah, anjing ini begitu jelek.”
Sepertinya si anjing mendengar gumaman beliau, dia terus memandangi manusia di hadapannya itu dengan tatapan sinis. Sejurus kemudian, saat beliau hendak berlalu, tanpa diduga, si anjing menyeru: “Hai Abdul Ghoffar! Siapa yang kau cela tadi? Ukirannya ataukah Pengukirnya?!”
Sang Nabi terkejut mendengar hardikan itu. Tanpa menunggu jawaban, si anjing melanjutkan: “Jika yang kau cela adalah ukirannya, yakni aku, maka ketahuilah bahwa aku tak pernah meminta untuk diciptakan menjadi anjing seperti ini! Dan jika yang kau cela adalah Sang Pengukir, maka ketahuilah bahwa Dia melakukan apa yang Ia kehendaki dan tidak satu cela pun Ia punyai, ingat itu!”
Belum sempat Abdul Ghoffar berkata-kata, si anjing berlalu begitu saja, meninggalkan beliau yang masih terbelalak dan merenungkan setiap butir kata-katanya. Beliau terus menerus memikirkan kata-kata si anjing, semakin lama semakin beliau pahami maknanya. Tetes demi tetes air mata membasahi pipinya, beliau menyesal dan meratapi kekeliruan ucapan dan anggapannya. Sejak itu, karena banyaknya meratapi kesalahan (Naaha – Yanuuhu), beliau dijuluki orang-orang sekitarnya dengan sebutan ‘Nuh’, sang peratap.
Jika direnungkan, memang benar teguran si anjing. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita pahami dari dialog menakjubkan ini:
1. Tidak ada yang jelek hakiki dalam setiap ciptaanNya, semua mengandung hikmah, semua memiliki peran di dalam kewujudannya masing-masing di alam raya ini. Anggapan jelek atau buruk hanyalah hasil penangkapan indera dan penilaian akal yang berdasarkan pada pengalaman serta sudut pandang kita yang sempit. Sehingga bisa menggelincirkan kita untuk menjelek-jelekkan ciptaanNya. Adakah ciptaan Sang Pencipta yang benar-benar jelek pada hakikatnya? Ataukah kita yang belum mampu memahami makna di balik semua yang kita pandang dan dengar?
Jika yang kita hina adalah Penciptanya, yakni Allah Ta’ala, maka sesakti apa kita sehingga berani mencela Dia yang seratus persen berkuasa terhadap lahir batin kita? Mau kemana kita mengungsi jika Dia usir dari alamNya ini? Tidak ada ruang maupun waktu yang tidak bernaung di bawah kekuasaan dan pengaturanNya.
Jika yang kita jelek-jelekkan ciptaanNya, misalnya anjing tadi, bukankah ia tercipta sedemikian itu bukan karena kehendak maupun permintaannya sendiri? Begitu pula dengan ciptaan-ciptaanNya yang sering kita anggap buruk yang lain. Toh tidak ada gunanya menghina suatu hal atau keadaan, sejelek apapun hal itu, semenyebalkan bagaimanapun suatu keadaan.
Bahkan setan sekalipun, kita diwanti-wanti untuk waspada dan berlindung dari makarnya, bukan untuk dihina dan dijelek-jelekkan. Itupun yang kita hindari bukanlah zat setan atau berbagai macam zat keburukan lain, melainkan tingkah laku dan pengaruh sifat buruklah yang kita hindari, bukan zatnya.
Jika kita tidak berhati-hati, justru bisa tumbuh bibit-bibit takabbur di dalam diri kita, padahal hal ini pulalah yang dahulu menggelincirkan Iblis dari posisi para malaikat yang mulia. Memang benar manusia disebutkan sebagai ‘Ahsanu Taqwim’, bentuk ciptaan yang terbaik, namun ingatkah kita bahwa ada berjuta kemungkinan pula bahwa sesosok manusia bisa terlena menjadi ‘Asfalu Saafiliin’, serendah-rendahnya para pecundang?
Dan bukankah gelar ‘Ahsanu Taqwim’ ini lebih cenderung mengesankan tanggungjawab yang kita emban selaku pemangku bentuk ciptaan yang terbaik, baik dari segi fisik maupun psikis? Bukan untuk diumbar secara ‘gumede’ sehingga memperlakukan makhluk lain secara sewenang-wenang.
2. Setiap manusia memiliki tingkatan spiritual yang berbeda-beda, tergantung kualitas jiwanya. Pengalaman batin orang semacam kita tentu berbeda dengan ketajaman jiwa para wali, apalagi para nabi dan rasul. Sama sekali tidak sama.
Suatu hal yang kita anggap sepele, kesalahan kecil, atau bahkan sama sekali bukan kesalahan di dalam pandangan kita, bisa jadi justru menimbulkan penyesalan yang dalam bagipara ‘arifin. Sebagaimana penyesalan dan taubat Nabi Adam setelah menikmati Buah Khuldi yang menyebabkan beliau turun ke bumi, padahal beliau memang sudah direncanakanakan menjadi khalifah di muka bumi jauh-jauh hari sebelum beliau diciptakan.
Atau taubat serta pengakuan dzalim Nabi Yunus ketika terperangkap dalam kelamnya perut ikan di kedalaman samudera, beliau beranggapan bahwa kepergian beliau meninggalkan kaumnya merupakan suatu bentuk keputusasaan yang perlu disesali dan ditaubati, padahal kita semua tahu bahwa beliau sudah berdakwah dengan gigih dan kaumnya memang keras kepala. Begitu pula dengan ratapan Nabi Nuh terhadap hinaan remeh beliau terhadap si anjing dalam kisah di atas.
Sebaliknya, masalah dan kesempitan hidup yang menurut kita begitu berat dan tak bisa ditanggung, sehingga menggelincirkan kita kepada kedurhakaan-kedurhakaan individual maupun sosial, justru menjadi batu asah bagi jiwa-jiwa para wali. Menjadi medan uji bagi spiritualitas manusia-manusia unggul yang menghantarkan mereka menuju derajat yang begitu tinggi dan begitu dekat di hadiratNya. Sehingga kita banyak mengenal para rasul dan nabi melalui kisah-kisah ketabahan dan kegigihan perjuangan hidupnya dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda.
Problem yang dihadapi pun beraneka rupa, mulai dari masalah kesehatan, penghidupan, skandal, fitnah, pembunuhan, pemerintahan, peperangan, keluarga, dan sebagainya. Mereka inilah yang akan menjadi hujjah bagi Allah di akhirat, ketika kita menjadikan segala masalah-masalah hidup kita sebagai alasan yang menghalangi pengabdian kita kepadaNya.
Juga sebagai ibarat bagi kita bahwa perjalanan hidup ini tak lepas dari perjuangan dan keprihatinan, sehingga kita selangkah dua langkah berupaya meneladani sensitivitas jiwa para teladan ini. Karena sepandai apapun akal menganalisa, memprediksi dan merancang langkah hidup, tetap saja kita tidak pernah tahu apa yang akan kita hadapi esok, sehingga teladan dari para utusan adalah referensi terbaik bagi hidup kita.
Di akhir hayatnya, ketika disapa dengan salam oleh Malaikat Maut, Nabi Nuh menyahut: “Siapa Engkau? Mengapa salammu begitu menggetarkan hatiku?”
“Aku Malaikat Maut. Mengapa kau mengeluh begitu saat kujemput? Tidakkah kau sudah kenyang hidup di dunia wahai manusia yang terpanjang umurnya?” jawab Sang Pencabut Nyawa.
“Sesungguhnya aku mengenal kehidupan ini sebagai suatu tempat dengan dua pintu, aku masuk melalui satu pintu dan keluar dari pintu lain yang belum pernah aku rasakan sebelumnya,” ujar Sang Nabi.
Betapa indah ibarat yang Allah tunjukkan kepada kita. Betapa sejuk tetes-tetes pemahaman yang Ia ajarkan kepada kita melalui para utusan dan kekasihNya, serta melalui lembaran-lembaran buku yang terhampar luas ini; segenap kejadian di semesta raya.
Setidaknya dahan-dahan hikmah ini bisa menaungi kita dari teriknya kegelisahan-kegelisahan hidup dan menyegarkan kembali hati yang hampir membusuk. Dengan tidak mencaci atau menghina apapun, dalam kondisi bagaimanapun.
“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. al-Baqarah ayat 269). (Siraj ath-Thalibin juz 2 halaman 409 karya Syaikh Ihsan Dahlan Al-Jampesi. Diterjemah oleh Ustadz Zia Ul Haq Tegal).

Sumber : 
http://gubuk-cahaya.blogspot.com/2013/02/teguran-anjing-asal-mula-nama-nuh-sang.html

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=639135536177122&set=a.356613851095960.85503.347695735321105&type=1&theater

Rabu, 11 Juni 2014

Bagian Syaitan Di Hati Nabi Muhammad Saw





oleh Ar-Riyaadhun Nadzrah pada 5 April 2012 pukul 13:24 ·
Dari sumber PP. Sunniyah Salafiyah Pasuruan Jawa Timur

Salah satu hadits menceritakan mengenai peristiwa di belahnya dada Rasul. Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa ketika dada Rasul dibelah, malaikat mensucikan hati Nabi dan mengeluarkan bagian syaitan yang ada di alamnya.

Pertanyaan :

Nabi adalah seorang yang sempurna kema'shumannya. bukankah tak layak dalam hati manusia ma'shum terdapat bagian bagi syaitan?

Kami Menjawab :

Sebenarnya, dikeluarkannya bagian syaitan dari hati Nabi di usia beliau yang masih belia justru merupakan bukti kesempurnaan penjagaan (ishmah) Allah terhadap beliau. Terlebih jika kita fahami bahwa maksud bagian syaitan yg dikeluarkan dari hati Nabi tersebut bukanlah bagian yang menjadi tempat syaitan menggoda Nabi. Akan tetapi bagian syaitandari rahmat Nabi (Kitab Al Insanul kamil Juz 1 Hal 34) sabab Nabi di utus sebagai rahmat lil alamin...
Dengan demikian Nabi punya sifat rahmat (kasih) pada seluruh alam ini termasuk syaitan. Rahmat Nabi pada syaitan inilah yg di keluarkan oleh malaikat dari hati beliau..
Dengan demikian maka tidak ada hal yang di persoalkan lagi mengenai hal ini.

Lantas mengapa dada Nabi mesti di belah? padahal mudah saja Allah untuk tidak melakukan itu langsung mengeluarkan saja tanpa proses pembelahan?

Hikmah kejadian ini adalah untuk menumbuhkan sifat berani dan kekuatan iman dalam diri Rasul. karena tiap kali dadanya di belah, beliau lihat secara langsung dan ternyata tidak berdampak apapun pada tubuhnya. Hal ini menguatkan iman beliau bahwa Allah selalu menjaganya. Oleh karenanya Rasul tumbuh menjadi manusia paling berani.dan tidak ada yang di takutinya kecuali Allah saja...(Rudd Syubhat Hauli Ishmatun Nabi Saw Juz 1 hal 111) (Tafsir Haqqy Jus 4 hal 377) (Nadzam Addror lilbaqa'iy juz3 hal 327)

Adapun terulangnya pembelahan dada ini 3x, yaitu saat Nabi masih kecil, adalah agar Nabi tumbuh dalam keadaan terjaga dari syaithan. Kedua saat nabi diangkat menjadi Rasul, adalah agar Beliau dapat menerima wahyu dengan kesucian dan kekuatan hati yang sempurna. Dan yang ketiga adalah saat mi'raj agar beliau mampu bertemu dengan Allah. (Tafsir al Baghawy juz 5 hal 60) (nadzm Adduror Al Baqa'i juz 2 hal 38) (tafsir haqqy juz 8  hal 98) (Rudd Syubht Hauli Ishmatun Nabbi Saw juz1 hal 107).

Sedangkan ungkapan dalam maulid Habsyi yang artinya "Tidaklah para malaikat mengeluarkan dari hati Nabi kotoran melainkan mereka menambahkan kesucian dalam hati Nabi yang suci."

Ini tidaklah bertentangan dengan bahasan sebelumnya, karena Habib Ali Al Habsyi tidak menafikan pengeluaran sesuatu dari hati Nabi. Buktinya sebelum bait ini tertera kalimat yang artinya "Kemudian mereka keluarkan dari hati Nabi apa yang mereka keluarkan, dan meletakkan di dalamnya rahasia-rahasia ilmu dan hikmah yg mereka letakkan didalamnya.

Jelas tidak ada pertentangan ungkapan ini dengan ungkapan di atas. Memang malaikat mengeluarkan sesuatu tapi bukanlah itu kotoran melainkan rahmat beliau kepada syaitan  bukan cuma itu, setelah dikeluarkannya hal tadi, malaikatpun memasukan ke dalam hati Nabi itu dengan rahasia-rahasia keilmuan seluruhnya sehingga bertambah sucilah hati Nabi yang suci itu.

Wallahu a'lam bisshawab.