Gus Dur
mengutip Ibnu Atha’illah as-Sakandari: “Idfin wujûdaka fî ardhi al-humûl. Famâ
nabata mimmâ lam yudfan lâ yatimmu natâ’ijuhu (tanamlah keberadaan
dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari
sesuatu yang tidak ditanam tidak akan sempurna buahnya)” (Ibnu Atha`illah
as-Sakandari, al-Hikâm, hikmah No. 11).
Gus Dur
sering mengutip perkataan emas itu dari mahaguru tarekat Syadziliyah, Ibnu
Atha`illah as-Sakandari. Gus Dur sering mengutipnya, di antaranya dalam
wawancara dengan Radio 68 H Jakarta/acara Kongkow Bareng Gus Dur. Saya
juga menemukan pengakuan dari KH. Husein Muhammad dalam tulisan Matahari
Telah Pulang: Merenungkan Sufisme Gus Dur (dalam Gus Dur Bertahta di
Sanubari, hlm. 175), tentang untaian emas itu sering dikemukakan Gus Dur.
Saya juga mendengar dari penuturan anaknya, Inayah Wahid di dalam acara “Simposium
Kristalisasi Pemikiran Gus Dur” di Jakarta tanggal 16-17 November 2011, bahwa
Gus Dur juga sering mengungkapkan kata-kata itu.
Ibnu
Atha`illah as-Sakandari nama lengkapnya biasa dipanggil dengan terhormat,
Tajuddin wa Tarjuman al-`Arifin Abu al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin
`Abdul Karim bin `Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad bin `Isa bin
al-Husain bin `Atha`illah al-Judzami al-Maliki as-Sakandari ash-Shufi. Dia oleh
Ibnu Farhun dalam ad-Dîbâj disebut sebagai: “Seorang imam yang
menjadi juru bicara tarekat Sadziliyah”. Di antara beberapa karangannya
adalah: at-Tanwîr fî Isqât at-Tadbîr, Lathâ’if al-Minân fî Manâqib
asy-Syaikh Abû al-`Abbâs wa Syaikhihi Abî al-Hasan,
Miftâh al-Falâh, Tâj al-`Arûsdan al-Hikâm.
Ibnu
`Atha`illah ini adalah orang yang dianggap berjasa teradap tarekat Syadziliah,
karena dialah murid Abul Abbas al-Mursy (murid Syaikh Abu Hasan as-Sadzili),
yang kemudian menyusun dan mensistematisasikan doktrin-doktrin dan wirid-wirid
Sadziliyah. Dia meninggal tahun 709 H. dan dimakamkan di Kairo, tepatnya di
Qarafiyah. Makamnya menjadi tempat para peziarah yang besar sampai saat ini.
Gus Dur
mengutip kata-kata Ibnu Atha`illah itu, dan berkomentar ketika membicarakan
soal doa dan keterkabulannya tergantung keikhlasan dan terserah Tuhan: “Maksudnya,
kita harus benar-benar kosong supaya tidak punya keinginan apa-apa. Susahnya,
orang berdoa itu kan banyak pengen-nya. Makanya kalau kita berdoa, jangan
minta apa-apa, terserah Tuhan saja. Pokoknya yang terbaik menurut Tuhan.” Di
sini, Gus Dur memaknai “tanamlah…” dengan “kita harus benar-benar kosong,
supaya tidak punya keinginan apa-apa,” dalam menempuh suluk.
Syaikh Hayat
as-Sindi al-Hanafi dalam Syarah al-Hikam al-`Atha’iyah (hlm. 12)
menyebutkan maksud dari perkataan itu. Kata “tanamlah” maksudnya “wahai para
pencari, perbaikilah jalan-jalanmu”. Perkataan “wujudmu di tanah yang tidak
dikenal” maksudnya “jadikanlah dirimu seakan-akan tidak membutuhkan sesuatu…
dan putuskanlah kekuasaan syahwatmu untuk terkenal dengan pisau yang
mematikan…” Dalam penjelasan selanjutnya disebutkan “tidak sempurna
buahnya” adalah “tidak diharapkan hasilnya, karena akan merusakkan sebelum
berbuah”.
Kata-kata
emas mahaguru tarekat Sadziliyah ini, sangat dalam, indah, dan menggetarkan.
“Tanamlah keberadaan dirimu di tanah yang rendah/tidak dikenal”, ibarat yang
digunakan bagi seorang yang sedang mencari, seorang penempuh jalan tarekat,
agar menanamkan jiwanya, memulai lakunya, dan meniatkan dirinya secara dalam.
Seorang penempuh (sâlik), sebaiknya menanamkan dirinya dalam tanah yang
rendah, karena dengan begitu akarnya akan kokoh. “Menanam wujud dirinya” ini
bukan bermakna leterlek, menanam tubuh ke dalam tanah: tidak demikian. “Menanam
diri” di sini adalah memulai laku dengan mengosongkan diri untuk tidak
membutuhkan sesuatu kecuali Allah, dan ini akan membuahkan keikhlasan. “Tanah
yang rendah” adalah ibarat untuk menunjukkan agar sang penempuh tidak
terburu-buru terbius mencari ketenaran, kemasyhuran, kesaktian, dan sejenisnya.
“Tanah yang rendah” adalah keadaan diri agar konsentrasi dalam
melakukan suluk, dengan tidak usah berkeinginan mencari ketenaran dan
sejenisnya.
Keinginan
untuk tenar dan kemasyhuran, hanya akan membuahkan ketidaksempurnaan
sebuah suluk. Alih-alih akan bisa berhasil dalam
melanjutkan suluk-nya, sang penempuh justru akan mendapatkan kerusakan,
jauh sebelum tujuannya tercapai. Ketenaran dan kemasyhuran, bukanlah awal,
bukan tujuan, dan bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan
kesempuranaan suluk. Keinginan tenar dan kemasyhuran hanya akan menjadikan
diri sombong, dan mudah patah, yaitu sesuatu yang karena memang tidak ditanam
dengan akar-akar yang kokoh, sedikit saja diterpa angin akan terhempas. Berbeda
dengan gunung, meskipun tinggi, tetapi karena tertanam secara kokoh dia tidak
akan terhempas. Demikian juga gunung, meski menjulang dan tegak, dia tidaklah
diam, tetapi terus bergemuruh dan bergerak. Begitu juga seorang sâlik,
menanam jiwa dalam kekosongan dari keinginan kebendaan, seperti ketenaran dan
kemasyhuran, bukan berarti diam dan tidak bergerak. “Menanam jiwa dalam tanah
yang tidak dikenal” berarti aktivitas dinamis yang penuh disiplin dalam
menggembleng diri, melakukan penyucian dan pendalaman diri, penghayatan, dan
penyingkapan diri yang tidak kenal lelah.
Begitulah,
pengosongan diri akan membuahkah keikhlasan dan akan bisa menjangkau esensi
Cahaya Allah, penyatuan perilaku dan sikap-sikap sâlik dengan
semaksimal mungkin bisa sesuai dengan energi-energi ilahiyah. Kekosongan diri
adalah hilangnya definisi-definsi, atribut, dan pengetahuan terserap dalam
kelemahan di hadapan kesadaran terdalam tentang kedigdayaan, kebesaran, dan
keperkasaan Tuhan. Dari keterserapan ini menimbulkan kehidupan baru seorang
penempuh, tergerusnya pengetahuan ke dalam kefana’ana-kefana’an, mempertanyakan
tentang diri, mencari asal dirinya kepada yang ilahi. Pengosongan diri akan
berputar-putar menggerus jiwanya sampai hilangnya keinginan-keinginan
kebendaan, dan hanya ada satu keinginan menemukan asal dirinya dengan cara
menjumpai cahaya-Nya.
Setelah
keterserapan dan hilangnya keinginan-keinginan akan muncul kerinduan rohani:
awalnya kecil, terus membesar, dan begitu seterusnya sangat membesar. Ketika
seorang mengalami kekosongan, yanga ada adalah kehampaan yang digerakkan oleh
energi ilahiyah. Seseorang bisa terjatuh karenanya; bisa duduk
berjam-jam, terheran-heran; bisa berjalan terus menerus; bisa saja tubuh
terkulai lemas tetapi jiwa bergemuruh hebat, mendodor-dodor; dan lain-lain.
Jalaluddin Rumi, seorang yang dianggap sebagai seorang yang mencapai Qutbul
Ghauts di zamannya, pernah terjatuh lunglai, dan tidak sadarakan diri ketika ia
mengalami kekosongan diri.
Ceritanya,
guru pembimbing Rumi yang bernama Syams Tabriz menemuinya. Saat itu Rumi sedang
bersama murid-muridnya di universitas di mana dia mengajar teologi di sebuah
kelas. Sesosok yang tampak compang camping mengikuti Rumi dan mengikuti di
ruang kelas. Dialah Syams Tabriz, yang kelak menjadi guru ruhaninya, dan
bertanya kepada Rumi: “Siapa yang lebih besar, Abu Yazid atau Nabi Muhammad?”
Rumi yang
melihat pandangan Tabriz menembus jiwanya, kemudian menjawab: “Nabi Muhammad
yang lebih besar.” Tabriz kemudian berkata: “Tidakkah Rasulullah berkata: “Kami
tidak mengetahui Engkau sehingga Engkau ingin sekali diketahui?” Sementara Abu
Yazid berkata: “Betapa besar maqam-ku, kemuliaan tercurah padaku yang
agung, yang kedigdayaannya terangkat.”
Tabriz
melihat Rumi tidak sanggup menjawab. Tabriz lalu menjelaskan: “Dahaga Abu Yazid
terhadap Tuhan telah dipuaskan setelah minum seteguk, tetapi dahaga Nabi tidak
pernah terpuaskan, karena dia selalu haus akan air pengetahuan Allah lebih
banyak lagi.”
Menemukan
dirinya tidak berdaya di hadapan Tabriz, Rumi mengalami kekosongan mencekam dan
terjatuh di lantai: menangis hingga hilang kesadarannya, tepat di kaki Tabriz.
Ketika Rumi sadar, kepalanya sudah ada di pangkuan Tabriz. Setelah itu kedua
orang guru murid itu, akhirnya pergi selama 3 bulan dalam pengasingan.
Begitulah, Rumi pun bisa terjatuh dan lunglai tatkala mengalami kekosongan
diri, dan sebabnya, setiap orang bisa berbeda-beda. Yang menyamakan hanya satu:
ditemukannya keterbatasan pengetahuan nalar dan logika manusia, dan adanya
energi ilahi yang menyergapnya yang menghunjam perlunya pengetahuan lain,
pengetahuan yang berasal dari cahaya-Nya secara langsung. Munculnya kekosongan
diri adalah anugrah.
Orang yang
melihat mereka yang sedang mengalami kekosongan diri, akan menemukan
perubahan-perubahan dari keberadaan sebeluamnya. Dan ini tidak perlu dipikirkan
oleh seorang sâlik, kecuali dengan teguh menyandarkan dirinya kepada
Allah: semuanya akan bisa menjadi baik, dengan sabar, teguh, dan disiplin. Pada
kondisi ini, biasanya seorangsâlik juga teringat, menimbang-nimbang laku
yang bisa dipertahankan dan diingat dari waktu kecil sampai ia mengalami
kekosongan diri: memperoleh anugrah pengosongan diri. Ada yang menyebutkan laku
“bersikap jujur” (Gus Dur sering sekali menekankan arti penting jujur ini dalam
menjalani hidup); ada laku selalu “mendahulukan orang lain” (Gus Dur juga
sering melakukan ini); dan ada juga yang selalu merasa berdosa bila melakukan
maksiat, sebelum akhirnya ia benar-benar bertaubat; dan lain-lain.
Kerinduan
rohani menjadikan sang penempuh mencari seorang guru/mursyid, bagi mereka yang
tidak memiliki keberanian dan tidak mendapatkan bimbingan rohani dari para guru
besar secara rohani; atau dia akan didatangi oleh guru rohani lewat mimpi dan
isyarat-isyarat, lalu melakukan disiplin diri sehingga
sang sâlik harus bisa mengatasi rasa takut dan godaan-godaan, yaitu
mengusai dirinya. Ibnu `Arabi dalam Risâlah al-Anwâr menyebutkan
demikian: “Demi Allah, janganlah memasuki penyendirian kecuali jika Anda
tahu maqam Anda, dan ketahuilah kekuatan Anda kaitannya dengan
imajinasi. Sebab jika imajinasi Anda menguasai Anda, maka tidak ada jalan menuju
penyendirian, kecuali melalui bimbingan Syaikh yang cerdas dan insaf. Jika
imajinasi Anda terkendali, maka masukilah penyendirian dengan tanpa rasa takut”
(hlm. 55.).
Dari
kekosongan diri, sang sâlik akan dan kemudian berada dalam hidup
baru, yang diikuti dengan disiplin diri ber-suluk. Di sini, pengosongan diri
bisa dimaknai sebagai adanya pemisahan hidup lama dan memulai hidup baru
setelah adanya keterserapan ke dalam energi ilahi yang menggetarkan jiwanya dan
mengantarkannya kepada pencarian akan cahaya-Nya. Keterserapan ini adalah
permualaan sebelum adanya fana’ dan sebelum melakukan dispilin
dari maqam ke maqamberikutnya. Keterserapan setelah melakukan
disiplin diri dan setelah fana’ adalah penyingkapan, dan ini berbeda
dengan kekosongan diri yang pertama. Meski begitu, ada juga seorang yang
diberkati Allah mengalami keterserapan energi ilahi sebelum melakukan disiplin
dari maqam ke maqam, dan Ibnu Arabi adalah salah seorang yang
diberi anugrah itu.
Banyak jalan
menuju pengosongan diri, sebanyak Allah menunjukkan seorang penempuh untuk
mengalaminya. Kalau seseorang masih menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh
dari membaca buku-buku, menulis, dan logika sebagai pengetahuan sejati
dan menyeluruh, mampu menyelesaikan persoalan dengan menihilkan “Yang Ghaib dari
yang Terghaib”, maka dia belum akan menemukan kekosongan diri. Kalau seseorang
masih melakukan eksperimen-aksperimen logis, dan kemudian menemukan keajaiban
hasil-hasilnya, dan menganggap semua itu sebagai keagungan akal dan
keabadiannya tanpa ada kesadaran campur tangan Tuhan, kekosongan diri tidak
akan muncul. Kalau seseorang masih menuruti semua keinginan kebendaan sehingga
tidak ada waktu untuk menemukan sesuatu yang berharga untuk mempertanyakan asal
rohaninya, di situ kekosongan diri tidak akan muncul. Demikian juga, kalau
seseorang menganggap masih kuat, dan tidak menyadari ada batas kelemahannya,
tentu belum akan bisa menemukan kekosongan diri.
Sebaliknya
pengosongan diri bisa ditemukan dan dimulai, kalau seseorang bisa menemukan
pengalaman-pengalaman yang menggugah rohani dan membuatnya berpikir bahwa
manusia ada batasnya; buku-buku, logika, dan tulisan ada batasnya; ilmu-ilmu
politik, ekonomi, sosiologi, dan sejenisnya ternyata terbatas, seperti yang ada
di Indonesia, tidak bisa bekerja menyelesaikan masalah-masalah riil kebangsaan
kita; dan tidak sedikit mereka yang mengalami sakit tertentu, dan kemudian bisa
sabar sampai memperoleh penyelamatan dari Sang Suwung (Allah) lalu timbul
kesadaran adanya kedigdayaan Allah. Dari kelemahan dan keterbatasan itu,
kemudian muncul perenungan mendalam: adakah semua bisa diselesaikan
manusia? Adakah semua keinginan manusia bisa dilaksanakan sedetil mungkin dan
sesempurna mungkin, bahkan terhadap mereka yang kaya raya sekalipun? Dan banyak
lagi pertanyaan lain yang mempertanyakan asal rohaninya. Dari sudut ini,
kekosongan diri adalah anugrah, setelah terjadinya kecamuk dalam perjalanan
hidupnya; setelah terjadi panas dan hujan silih berganti menempa hidupnya; dan
begitu seterusnya.
Seorang
kawan mengabarkan, sangat bersyukur bahwa selama ini, dia melakukan perlawanan
dan menentang Tuhan, dan pada umur 30-an tahun setelah mengalami masa
pancaroba, gempa, musim gugur, dan segala cuaca diri akhirnya dianugrahi diri
yang ingat dan lari kepada-Nya. Andai sampai mati tidak juga mengalami itu,
sungguh, dia merasa hidupnya merugi, karena yang dia tahu hanya pengetahuan
berdasarkan nalar dan logika yang spekulatif, dan tidak menambah tenang
hidupnya. Penyingkapan-penyingkapan yang dialaminya kemudian, menambahkan
kokohnya iman dan tauhidnya kepada Tuhan. Di sini ada situasi di mana masa
pancaroba diri dan berbagai jenis cobaan, telah dilalui, anugrah kekosongan
diri sungguh menghunjam dan menyentuh rohaninya.
Sebelum
seseorang mengalami pengosongan diri yang hebat sebaiknya tidak usah
terburu-buru ingin menempuh duniasuluk. Kalau ini ditempuh, tentu seseorang
hanya akan berhenti untuk mencari kemasyhuran, ketenaran, kesaktian,
kekayaan, dan atribut-atribut kebendaan, sudah pasti akan tertipu, gagal,
dan tujuannya akan rusak. Ketika sudah terkenal, sementara akar-akarnya tidak
kokoh, seseorang akan menemukan ketenarannya, tetapi ketenarannya itu tidak
akan abadi, semu semata, dan setelah itu akan menemukan kekecewaan, yang
sebenarnya adalah kegagalan dalam ber-suluk, karena ketenarannya itu akan
menghacurkan sang sâlik sendiri.
Hal ini
berbeda, bila seseorang menanam dirinya di tanah yang rendah sehingga akar-akar
jiwanya sangat kokoh. Kalau kemudian orang ini terkenal dan masyhur, maka dia
tidak lekang oleh waktu, tidak takut oleh cercaan, akan terus berjuang
meskipun terus mengalami rintangan, dan akan tetap tegar, meskipun tentu
saja kadang rasa takut menghinggapi dan menyelinap menggodanya. Begitulah,
karena Gus Dur telah melewati fase pengosongan diri, maka sang guru telah menanam
dirinya dengan akar yang kokoh, dan dengan begitu meskipun situasi sosial,
politik, ekonomi, dan komunitasnya berguncang-guncang dan mendodornya, sang
guru tetap tegar. Ibarat gunung, meski menjulang tetapi akarnya kokoh karena
terpatri ke dalam bumi; dan energi bumi yang adalah bagian dari cahaya-Nya
telah menyerap sang guru.
Sementara
kebanyakan orang mengalami pengosongan diri menjelang ajal, ketika sang
penjemput maut akan tiba. Dan, bahkan yang lain tidak meneruskan setelah ada
gejala-gejala pengosongan diri, karena kemudian masih disibukkan oleh
keinginan-keinginan kebendaan. Begitulah yang namanya manusia: sebuah
eksistensi yang lemah, tetapi mengaku kuat dan sombong; dan terutama karena
gengsi status sosial, kekayaaan, dan sejenisnya, dia malu mengakui bahwa
sebenarnya dia sangat lemah. Tetapi Allah memberikan kebebasan kepadanya untuk
tetap percaya atau tidak, faman syâ’a falyu’min faman syâ’a falyakfur.
Pengosongan
diri ini, sebuah syarat penting untuk mencapai dua hal: menjangkau alam esensi
dari yang al-Haqq; dan untuk mendapatkan akses ke sifat-sifat ilahi yang
hanya bisa dicapai dengan mencapai fanâ’ (keterleburan) terlebih
dulu. Dengan pengosongan diri itu, dimulai tapak demi tapak dan daki mendaki
dalam berbagai maqâmât atau laku spiritual. Di sini, pengosongan diri
sebagai syarat munculnya gemuruh jiwa yang kemudian membajakan tekadnya
melakukan penyucian diri lahir dan batin untuk menjangkau esensi ilahi,
lagi-lagi, harus dibedakan dengan keterserapan dan lebur ke dalam cahaya ilahi
setelah mengalami fanâ’. Yang terakhir ini, terjadi setelah
berbagai maqâmât dilakukan; dan pengosongan diri yang pertama adalah
menanam jiwa dalam tanah yang rendah, permulaan menjelang pendakianmaqâmât,
yaitu melepaskan keinginan-keinginan kebendaan, sehingga rongga batin
sang sâlik memiliki pondasi dan akar-akar yang kokoh.
Oleh karena
itu, sebaik-baik dalam pengosongan diri, sebagai permulaan seseorang perlu
menyadari adanya Sang Suwung, Sang Ada yang tidak terjangkau, dan tidak bisa
didekati dengan indra-indra biologis, dan kemudian kondisinya terserap ke dalam
kehampaan, kekosongan, dan kesuwungan. Setelah itu seseorang perlu menyandarkan
disiplin ber-suluk kepada-Nya dan dia akan memiliki fondasi fondasi yang
kokoh, dan akan mencapai hasil yang mencerahkan. Oleh karena itu, Ibnu
Atha’illah selain berkata dalam kalimat-kalimat yang dikutip di awal tulisan
ini yang sering dikemukakan Gus Dur, dia juga mengemukakan:
“Sesungguhnya bidâyah (permulaan) itu bagaikan cermin yang
memperlihatkannihâyah (puncak akhirnya). Dan siapa yang bidâyah-nya
selalu bersandar kepada Allah, akhirnya juga akan sampai kepada-Nya.” (Kearifan
No. 276, dalam al-Hikâm).
Tentang
permulaan, sudah jelas, perlu adanya pengosongan diri sehingga keberangkatan
menjadi terserap untuk menjangkau esensi ilahi, karena tidak dibelenggu oleh
keinginan-keinginan kebendaan, kemasyuhuran, dan ketenaran, yang justru akan
menjadi hijâb dan penglulu. Sementara “orang yang sampai” adalah
mereka yang telah menyaksikan kebenaran ilahi, atau menyaksikan manifestasi
cahaya yang memancar dari Sang Maha Indah yang disaksikan melewati tahap demi
tahap, sampai mengalami tauhîd biwujûd al-Haqq. Begitulah, kalau
penyandaran kepada-Nya dilakukan dalam permulan dan dalam semua tahapan
laku suluk-nya, akhirnya juga akan sampai kepada-Nya. [nur khalik ridwan]
Sumber www.nu.or.id